Jumat, 27 Mei 2011

TAFSIR Q.S AN-NISAA' AYAT 3


 dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,Maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S An-Nisaa’ :3)

Setelah melaranga mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya, kini yang dilarang-Nya adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak-anak yatim itu, karena itu ditegaskan bahwa : dan  jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berbuat adil terhadap wanita-wanita  selain yang yatim itu,  maka kawinilah apa yang  kamu  senangi sesueai dengan selera kamu, dan halal  dari wanita wanita yang lain itu . kalau perlu , kamu  dapat menggabungkan  saat yang sama dua, tiga, atau empet, tapi jangan lebih, lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil dalam hal harta dan perlakuan lahiriah, bukan hal cinta bila menghimpun lebih dari seorang istri , maka kawinilah seorang saja, atau kawinilah budak-budak yang kamu  miliki. Yang demikian itu , yakni  menikahi selain anak yatim yang mengakibatkan ketidak adilan , dan mencukupkan satu orang istri adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu kepada keadilan  atau tidak memiliki banyak anak yang kamu tanggung biaya hidup mereka.

Ayat diatasa menggunakan kata tuqsithu dan ta’dilu ­ yang keduanya diterjemahkan “adil”. Ada ulama yang mempersamakan , ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa tuqsithu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang membuat keduanya senang, sedangkan ta’dilu adalah berbuat adil, baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu  bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak.

Firman-Nya : maka kawinilah apa yang kamu senangi, bukan siapa yang kamu senangi, bukan dimaksudkan – seperti tulisan al-Biqa’i – untuk mengisaratkan bahwa wanita kurang berakal dengan alasan pertanyaan yang dimulai dengan apa adalah bagi sesuatu yang tidak berakal dan siapa  untuk yang berakal. Sekali lagi bukan itu tujuannya, tapi agaknya ia disebabkan karena kata itu bermaksud menekankan tentang sifat wanita itu, bukan orang tertentu, nama, atau keturunanya. Bukankah jika anda berkata : “siapa yang dia kawini?” maka anda menanti jawaban tentang wanita tertentu, namanya dan anak siapa dia. Sedangkan bila anda bertanya dengan mengunakan kata apa, maka  jawaban yang anda nanti adalah sifat dari yang ditanyakan itu, misalnya janda  atau gadis, cantik atau tidak dan sebageinya.

Firman-Nya : ma malakat aimanukum yang diterjemahkan dengan budak-budak wanita yang kamu miliki, menunjuk kepada setu  kelompok masyarakat yang ketika itu merupakan salah satu fenomena umum masyarakat manusia diseluruh dunia, dapat dipastikan, Allah dan Rasul-Nya tidak meristui perbudakan, walaupun saat yang sama harus pula diakui bahwa Al-Qur’an dan sunah menutup semua pintu untuk lahir dan berkembangnya perbudakan, kecuali satu pintu yaitu tawanan yang diakibatkan oleh peperangan dalam rangka mempertahankan diri dan aqidah. Itupun disebabkan karena ketika itu demikianlah perlakuan manusia terhadap tawanan perangnya, tetapi perlakuan terhadap mereka sangat manusiawi, bahkan Al-Qur’an memberi peluang kepada penguasa muslim untuk membebaskan mereka dengan tebusan atau tanpa tebusan; berbeda dengan uman manusia ketika itu.

Islam menempuh cara bertahap dalam pembebasan perbudakan antara lain disebabkan oleh situasi dan kondisi para budak yang ditemuinya. Para budakketika itu hidup bersama tuan-tuan mereka, sehinga kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka terpenuhi. Anda dapat membayangkan bagai mana jadinya jika perbudakan dihapus sekaligus. Pasti akan terdapat problem social yang jauh lebih parah dari PHK(pemutusan hubungan kerja). Ketika itu para budak jika dibebaskan bukan saja pangan yang  harus mereka siapkan sendiri, tapi juga papan. Atas dasar itu kiranya dapat dimengerti jika Al-Qur’an dan sunah menempuh jalan bertahap dalam menghapus perbudakan. Dalam konteks ini, dapat juga kiranya dipahami perlunya  ketentuan - ketentuan hukum  bagi para budak tersebut,. Itulah yang mengakibatkan adanya tuntunan agama, baik dari segi hukum atau moral yang berkaitan dengan perbudakan. Salah satu tuntunan itu adalah izin mengawini budak wanita. Ini bukan saja karena mereka juga adalah manusia yang mempunyei kebutuhan biologis, tetapi juga merupakan salah satu cara menghapus perbudaakan. Seorang budak perempuan yang dikawini budak laki-laki, maka ia akan tetap menjadi budak dan anaknya pun demikian.tapi bila ia dikawini oleh pria merdeka dan memperoleh anak, maka anaknya lahir bukan lagi sebagei budak, dan ibu sang anak pun demikian. Dengan demikian, perkawinan seorang merdeka dengan budak waninta merupakan salah satu cara menghapuskan perbudakan.

Budak – budak wanita yang disebut diatas, kini tidak ada lagi. Pembantu – pembantu rumah tangga atau tenaga kerja wanita yang bekerja atau dipekerjakan didalam atau luar negeri , sama sekali tidak dapat disamakan dengan budak-budak pada masa itu. Ini karena islam hanya meristui adanya perbudakan melalui perang, itupun jika peperang itu perang agama dan musuh menjadikan tawanan kaum muslimin sebagei budak-budak, sedang para pekerja wanita itu adalah manusia-manusia merdeka kendati mereka miskin dan butuh pekerjaan.

Disisilain, walaupun perbudakan secara remi tidak lagi dikenel oleh ummat manusia dewasa ini, namun itu bukan berarti bawa ini dan semacamnya dapat dinilei tidak relefan lagi. Ini karena  Al-Qur’an tidak hanya diturunkan untuk putra-putri abat ini, tetapi ia diturunkan untuk umat sejak abat 6 hingga ahir zaman. Semua diberi petunjuk dan semua semua dapat menimba petunjuk sesuei dengan kebutuhan dan perkembangan zamannya. Masyarakat abad ke-6  menemukan budak-budak wanita, dan bagi mereka tuntunan itu diberikan. Al-Qur’an akan terasa kurang oleh mereka, jika petunjuk ayat ini tidak mereka temukan. Dilain segi, kita tidak tahu perkembangan masyarakat pada abat- abad yang akan dating, boleh jadi mereka mengalami perkembangan yang belum dapat kita duga dewasa ini. Ayat – ayat ini atau jiwa petunjuknya dapat mereka jadikan rujukan dalam kehidupan mereka.

Penafsiran yang terbaik menyangkut ayat diatas adalah penafsiran yang berdasarkan keterangan istri nabi., Aisah r.a Iman Buhari, Muslim, Abu Dawud  serta at-Turmuzy dan lain – lain meriwayatkan bahwa Urwah ibnu Zubair bertanya pada istri  nabi, Aisyah ra, tentang ayat ini, beliau menjawab bahwa ini berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, dimana hartanya bergabung dengan harta wali dan sang wali senang dengan kecantikan dan dan harta sang yatim, maka ia hendak mengawininya tanpa memberikan mahar yang sesuai. As-Sayyidah Aisyah ra. Lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah turunya ayat ini.,  para sahabat bertanya lagi pada nabi saw. Tentang perempuan, maka turunlah firman-Nya: 127. dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran[354] (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa[355] yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka[356] dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya (Q.S An-Nisaa’ :127)Aisyah ra. Kemudian melajutkan keterangannya bahwa bahwa firman-Nya : sedang kamu engan mengawini mereka, itu adalah keengagana para wali untuk mengawini anak yatim yang sedikit hartanya dan kecantikannya. Maka sebaiknya dalam ayat  3 surat  An-Nisaa’  ini mereka silarang mengawini anak-anak yatim yang mereka ingimkan karena harta dan kecantikannya, tetapi engan berlaku adil terhadap mereka.

Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangna itu dikatakanya :” jika ada khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habikan saja  makan makanan selainya yang ada dihadapan anda”.  Tentu saja peritah menhabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.

Perlu digaris bawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan  oleh penganut berbagei syariat agama serta adapt istiadat masyarakat sebelum turunya ayat ini. Sebageimana ayat ini tidak  mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara bolehnya poligami itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.

Dengan demikian, pembahasan poligami dalam Al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang terjadi.

Adalah wajar bagi suatu perundang undangan, apa lagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat, untuk mempersiapkan ketentuan hukum yang beleh  jadi terjadi pada suatu ketika, walau kejadian itu baru merupakan kemungkinan. Bukankah kenyataan menunjukan bahwa jumlah lelaki bahkan jantan binatang lebih sedikit dari jumlah wanita atau betinanya? perhatikanlah sekeliling anda. Bukankah rata-rata usia wanita lebih panjang dari usia lelaki, sedangkan potensi membuahi lelaki lebih lama dari potensi wanita, bukan saja wanita mengalami masa haid, tetapi juga karena wanita mengalami monopouse sedangkan pria tidak mengalami keduanya.

Bukankah peperangan hingga saat ini tidak dapat dicegah, lebih banyak merengut nyawa lelaki dari pada perempuan?  Bukankah kenyataan ini yang mengundang beberapa tahun yang lalu, sekian banyak wanita di jerman barat menghimbau agar poligami dapat dibenarkan walau untuk beberapa tahun. Sanyang pemerintah dan gereja tidak meristuinya, sehingga prostitusi dalam berbagei bentuk merajalela.

Selanjutnya, bukankah kemandulan atau penyakit parah merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh dapat terjadi dimana-mana? Apakah jalah keluar yang diusulkan kepada suami yang menhhadapi kasus demikian?. Bageimanakah seharusnya ia menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh dambaannya pada keturunan? Poligami ketika itu adalah jalan yang paling tepat. Namun sekalilagi, perlu diingat bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi berarti kewajiban. Seandenya ini anjuran pasti Allah menciptakan wanita lebih banyak empat kalilipat dari jumlah laki-laki. Karena tidak ada artinya anda apalagi Allah menganjurkan sesuatu kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu.seperti yang dicontohkan diatas, tentu masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut disitu, yang  merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu.

Ketika tidak dapat membenarkan orang yang berkata bahwa poligami adalah anjuran, dengan alasan bahwa perintah diatas dimulei dengan bilangan dua, tiga, atau empat, baru kalau tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja.denangan alasan yang dikemukakan diatas, baik dari makna redaksi ayat, maupun dari kenyataan sosiologis dimana perbandingan perempuan dan laki-laki tidak mencapei empat banding satu, bahkan dua banding satu.

Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasulallah saw kawin lebih dari satu, dan perkawinan semacam itu diteladani, karena tidak semua apa yang dilakuakn Rasul saw  perlu diteladani.sebageimana semua yang diwajibakn atau terlarang bagi beliau, wajib dan terlarangnya bagi ummatnya. Bukankah Rasul saw antara lain wajib bangun sholat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukakkah tidak batal wudhu ‘beliau bila tertidur? Bukankah ada hak-hak seorang pemimpin guna menyukseskan misinya? Atau apakah mereka yang menyatakan itu benar benar meneladani Rosul dalam perkawinannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka sadar bahwa  semua wanita yang beliau kawini, kecuali Aisyah ra adalah janda-janda, dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan da’wah, atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu, yang pada umumnya bukan wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang mengikat.

Saudah binti Zim’ah seorang wanita tua. Suaminya meninggal diperantauan, sehingga ia terpaksa kembali kemekah menanggung beban kehidupan bersama anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtat, atau kawin dengan siapa yang tidak disenanginya.

Hind binti Abi Umayah yang dikenal dengan Ummu Salamah, suaminya Abdullah al-Makhzumi, yang juga anak pamanya, luka dalam perang uhud kemudian gugur, ia juga seorang tua, sampei-sampei pada mulanya beliau menolak lamaran Rosul, sebageimana beliau telah menolak lamaran Abu Bakar dan Umar ra tetapi pada ahirnya bersedia demi kehormatan dan anak-anaknya.

Romlah putri Abu Sufyan meningalkan orang tuanya dan hijrah keHabasyah bersama suaminya, tetapi sang suami memilih agama Nasrani disana dan menceraikanya, sehingga ia hidup sendirian diperantauan. Maka melalui Negus, penguasa Habasya(ethopia). Nabi melamarnya,dengan harapan mengangkatnya dari penderitaan sekaligus menjalin hubungan dengan ayahnya yang ketika itu merupakan salah satu tokoh utama kaum musyrikin dimekah.

Huriyah binti Haris adalah putri kepala suku dan termasuk salah seorang yang ditawan. Nabi saw mengawininya sambil memerdekakannya dengan harapan kaum muslim dapat membebaskan paratawanan yang mereka tawan, dan hasilnya seperti yang diharapkan, dan semua pada ahirnya memeluk islam, huriah sendiri memilih menetab bersama Nabi Muhammad saw dan enggan kembali bersama ayahnya.

Hafsah Putri Umar Ibnu Khattab ra suaminya wafat dan ayahnya merasa  sedih melihat anaknya hidup sendiri, maka ia “menawarkan” putrinya kepada Abu Bakar  untuk dipersuntingnya, namun yang tidak mau menyambut, maka tawaaran diajukan kepada Usman ra tetapi beliau pun diam. Nah ketika itu Umar ra mengadukan kesedihannya kepada Nabi saw, yang kemudian bersedia mengawini hafsah  ra demi persahabatan, dan demi tidak membedakan Umar ra danga sahabatnya Abu Bakar ra yang sebelum ini telah dikawini putrinya. Yakni Aisyah ra.

Shafiyah, putri pemimpin yahudi dari bani Quraizhah yang ditawan setelah kekalahan mereka dalam pengepungan yang dilakukan oleh nabi, diberi pilihan kembali kekeluarga atau tingal bersama nabi dalam keadaan bebas merdeka. Dia memilih untuk tinggal., dirumah itu. Nabi mendengar seseorang memaki pendek maka nabi menghibur shafiyah sambil mengecam dengan keras pemakinya. Itulah kisah dan latar belakang  perkawinan Nabi dengan wanita ini.

Zainab binti Jahsyi sepupu nabi saw dikawinkan langsung oleh nabi dengan bekas anak angkat dan budak beliau, Zaid ibn Haritsah. Rumah tangga dia tidak bahagia sehingga mereka bercerei,dan sebagei penangung jawab perkawinan itu, nabi mengawininya atas perintah tuhan, sekaligus untuk membatalkan adapt jahiliah yang menganggap anak  angakat menjadi anak kandung sehinga tidak beleh mengawini bekas istrinya.(baca Q.S al-ahzab: 36-37).

Zainab binti Khuzaimah , suaminya gugur dalam perang uhud dan tidak seorang pun kaum dari kaum muslim ketika itu yang berminat maka nabi pun mengawininya.

Itulah istri-istri nabi yang keseluruhannya janda kecuali Aisyiah ra dan yang beliau kawini setelah bermonogami hingga usia lima puluh tahun lebih dan selama hidup dengan ibu putra putrinya, khatijah ra  istri pertama dan tercinta beliau, istri-istri yang disebut diatas inilah yang seringn disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu atau engan memahami latar belakng perkawinan itu.

Ada yang bertanya : mengapa islam membenarkan pria menhimpun dalam saat yang sama , empat orang wanita sedangkan wanita tidak diperbolehkan kecuali dengan seorang pria ?

Boleh jadi ada yang menerima pendapat ilmuan yang menyatakan bahwa fitrah manusia cenderung berpoligami dan fitrah wanita bermonomi. Karena itu menjawab pertanyaan Negara Negara yang membolehkan prostitusi melakukan pemeriksaan kesehatan rutin  bagi wanita-wanita berlaku seks bebas, tidak melakukanya bagi pesangan sah? Ini karena kenyataan  menunjukkan bahwa wanita diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang bersih, yaitu seperma seorang sekali lagi, seorang pria. Begitu terlibat dua pria  dalam hubungan seksual dengan seorang wanita maka ketika itu pula cairan itu yang merupakan benih anak tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan menjangkitkan penyakit. Kenyataan menjadi bukti yang sangat jelas yang menyangkut hal ini.

Firman-Nya : dzalika ‘adna an la ta ulu dipahami oleh imam Syafi’i  dalam arti tidak banyak tanggunganmu. Ia terambil dari kata ala ya ulu yang berarti “menanggung/memblanjai”. Orang yang memiliki banyak anak  berarti banyak tanggunganya. Dari sini kata itu dipahami dalam arti tidak banyak anak.pemahaman kata itu demikian, tidak didukung oleh banyak ulama, tetapi hadis nabi saw  mendukung makna itu antara lain yang diriwayatkan Buhari dan An Nasai melalui Abu Hurairah bahwa nabi saw bersabda: tangan yang diatas(yang memberi) lebih baik dari tangan yang dibawah(neberima)dan muleilah dengan siapa yang menjadi tangunganmu”. Anda lihat kata ta’ulu  bermakna:” yang menjadi tangungan”.

jika pendapat itu  ditrima, maka ayat tersebut dapat dijadikan salah satu dasar untuk mengatur kelahiran dan menyesuaikan jumlah anak dengan kemampuan ekonomi. Memang, sangat tercela bila kemampuan ruangan dan makana yang tersedia hanya cukup untuk sepuluh orang, kemudian anda mengundang dua puluh orang. Demikian juga hanya dengan anak – anak yang  direncanakan.

sumber tafsir Al-Mishbah, tahun ctk 2000 Vol.2   halaman: 321-328