Jumat, 19 November 2010

sumber-sumber hukum islam yang otentik

sumber-sumber hukum islam yang otentik
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM OTENTIK
(MASHADIR AL SYARI’AH) YANG DISEPAKATI ULAMA
AL QUR’AN dan SUNNAH

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Dalam menggali hukum Islam tentulah kita merujuk pada dalil-dalil al Qur’an dan sunnah Nabi sebagai sumber hukum islam otentik yang telah disepakati ulama mengenai kehujjahannya. Adalah benar adanya bahwa kedua sumber hukum Islam ini menjadi perhatian besar para ulama baik ulama klasik sampai ulama masa kini untuk mencoba menggali dan menemukan pesan-pesan al Qur’an khususnya berupa hukum-hukum Allah yang masih belum terjamah oleh manusia. Sehingga penggalian makna dan pesan al Qur’an dan Sunnah menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut guna menegakkan hukum Allah dan menjaga kemaslahatan ummat.
Berkaitan dengan hal tersebut, makalah ini kami susun untuk menjelaskan hukum–hukum yang ada dalam al Qur’an dan bagaimana al Qur’an itu sendiri menetapkan hukum, serta bagaimana kehujjahan Sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian al Qur’an dan Sunnah?
2. Bagaimana kehujjahan al Quran dan Sunnah?
3. Bagaimana al Qur’an dan Sunnah dalam menetapkan hukum?







BAB II
PEMBAHASAN


A. AL-QURAN
1. Pengertian al Qur’an sebagai Sumber dan Dalil Hukum
Al Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril membacanya dinilai ibadah dan ditulis dalam bentuk mushaf.
Semua ulama sepakat bahwa al Qur’an merupakan sumber ajaran sekaligus sumber hukum Islam yang pertama dan paling utama. Dalil bahwa al Qur’an adalah sumber hukum pertama dalam Islam sesuai dalam firman Allah :

”Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. al Isra’ : 9)
Menurut ulama ushul fiqh, ayat itu dapat dimaknai bahwa al Qur’an menjadi patokan atau kaidah dan tatanan hukum untuk manusia agar menjalankan kehidupan dengan baik dan benar menurut peraturan atau hukum-hukum Allah SWT.
Al Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i. Akan tetapi, hukum-hukum yang dikandung al Qur’an adakalanya bersifat qath’i dan adakalanya bersifat zhanny. Ayat-ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat seperti ini, misalnya, ayat-ayat waris, hudud dan kafarat. Adapun ayat-ayat yang bersifat zhanny adalah lafal-lafal yang dalam al Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafal musytarak (mengandung pengertian ganda) yaitu kata quru’. Lafal quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan suci, sebagaimana yang dianut ulama Syafi’iyah adalah boleh, dan jika diartikan dengan haid juga boleh sebagaimana yang dianut ulama Hanafiyah.

2. Hukum-Hukum Di Dalam al Qur’an
Hukum-hukum yang dibawa alquran ada 3 macam, yaitu:
a Hukum-hukum i’tiqadiyah yaitu yang berhubungan dengan keimanan.
b Hukum-hukum ’amaliyah yaitu yang berhubungan dengan perbuatan seorang mukallaf dan hukum inilah yang akan dicapai dengan menggunakan ilmu ushul fiqh.
c Hukum-hukum khuluqiyah yaitu yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan akhlaq dan akhlaq-akhlaq yang buruk.
Di dalam al Qur’an hukum-hukum ’amaliyah ada 2 macam, yaitu :
a Hukum-hukum ’ibadah, yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT semacam sholat, zakat, puasa, haji dsb
b Hukum-hukum mu’amalah dalam arti luas, yaitu yang mengatur hubungan antar manusia baik secara individual maupun secara berkelompok atau antara individu dengan kelompoknya.
Muamalah dalam arti luas ini bisa dibagi beberapa bidang , yaitu :
a Hukum keluarga, ahkam ahwaal al syahshiyyah yaitu yang berhubungan dengan pengaturan dalam keluarga antara suami istri, anak-anak dan kaum kerabatnya, ayat dalam alQuran sekitar 70 ayat.
b Hukum perdata/muamalah dalam arti sempit al ahkam al madaniyyah yaitu yang berhubungan dengan muamalah perorangan untuk memelihara hak-hak perseorangan seperti jual beli, sewa menyewa, syirkah dsb. ayat dalam alQuran sekitar 70 ayat.
c Hukum pidana alahkam al janaa’iyyah yaitu yang berhubungan dengan kejahatan dan saksi-saksinya, demi memelihara kehidupan manusia didalam agamanya, dirinya, akalnya, hartanya, kehormatannya dan hubungannya antara pelaku kejahatan, si korban dan ummat. ayat dalam alQuran sekitar 30 ayat.
d Hukum acara ahkam al muraafi’aat yaitu yang berhubungan dengan proses peradilan seperti gugat , saksi, hakim dsb. Dengan maksud untuk menerapkan keadilan di antara manusia. ayat dalam alQuran sekitar 13 ayat.
e Hukum kenegaraan al ahkam al dusturiyyah yaitu aturan yang berhubungan dengan pemerintah yang mengatur hubungan antara pemerinta dan rakyatnya, menetapkan kewajiban dan hak masyarakat dan rakyat. ayat dalam alQuran sekitar 10 ayat.
f Hukum hubungan internasional dan antar agama al ahkam aldauliyyah yaitu aturan yang mengatur hubungan antar bangsa dan antar agamabaik dalam keadaan damai atau dalam keadaan berperang. ayat dalam alquran sekitar 25 ayat.
g Hukum ekonomi dan harta kekayaan al ahkam al iqtishoodiyyah yaitu yang mengatur tentang pemasukan dan pengeluaran harta kekayaan, hubungan antara si kaya dan si miskin. ayat dalam alQuran sekitar 10 ayat.
3. Cara alQur’an Dalam Menetapkan Hukum
Di dalam mengerjakan perintah dan larangan, al Qur’an selalu berpedoman pada tiga hal , yaitu :
a Tidak memberatkan atau menyusahkan
Misalnya, mengqasar shalat, tidak berpuasa karena musafir, bertayammum sebagai ganti air untuk berwudlu, memakan makanan yang terlarang dalam keadaan darurat.
b Tidak memperbanyak beban atau tuntutan
Misalnya, haji hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja.
c Berangsur-angsur di dalam mensyariatkan sesuatu
Misalnya, pengharaman minuman keras prosesnya sampai tiga kali, kemudian diputuskan tidak boleh.
Al Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara :
a Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud dan kafarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut ahli ushul fiqh disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
b Penjelasan al Qur’an terhadap sebagian hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum dan mutlak, seperti masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali sehari dikerjakan, berapa raka’at untuk satu kali shalat dst. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa hukum-hukum global dan umum yang dikandung al Qur’an telah memberikan kaidah-kaidah, kriteria-kriteria umum dan dasar-dasar yang penting dalam pengembangan hukum Islam karena suatu undang-undang bukan hanya harus bersifat singkat, padat tetapi juga fleksibel .
B. SUNNAH
1. Pengertian Sunnah
Sunnah secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, sunnah lebih umum disebut dengan hadits yang mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu Qarib artinya dekat, Jadid artinya baru dan Khabar artinya berita.
Pengertian secara terminologi bisa dilihat dari tiga bidang ilmu yaitu ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqh. Menurut ulama ahli hadits, sunnah identik dengan hadis yaitu semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan ataupun ketetapannya. Menurut ulama ushul fiqh, sunnah diartikan semua yang lahir dari Nabi SAW selain al Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan yang berkaitan dengan hukum. Adapun sunnah menurut ulama fiqh, di samping mempunyai arti seperti yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pengertian perbuatan apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
2. Pembagian Sunnah
Sunnah dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
a Sunnah Qauliyah, yang sering dinamakan juga dengan khabar atau berita berupa perkataan Nabi SAW. yang didengar dan disampaikan al Qur’an.
b Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW yang diketahui dan disampaikan oleh sahabat kepada orang lain.
c Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi SAW tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegah menunjukkan persetujuan Nabi SAW.
3. Hubungan Sunnah dengan al Qur’an
Hubungan antara sunnah dan al Qur’an didalam bidang hukum menurut sebagian ulama ada 3 hal, :
a Sunnah berfungsi sebagai penjelas yang memerinci yang mujmal atau mengkhususkan yang umum dari alquran . Dengan demikian sunnah sebagai interpretasi yang otentik dari alQuran.
b Menambah hukum-hukum yang ada di dalam al Qur’an dalam arti hukum tersebut asalnya dinashkan dalam alQuran sedang sunnah menambahkan sebagai penyempurna dari asal tadi atau penguat.
c Sunnah memberi hukum tersendiri yang tidak terdapat di dalam alQuran.
Para ulama bersepakat bahwa sunnah merupakan sumber syari’ah dan ketentuan-ketentuannya mengenai halal dan haram berdiri sejajar dengan al Qur’an. Sunnah Nabi merupakan dalil (hujjah) bagi al Qur’an, memberi kesaksian terhadap otoritasnya dan menyuruh umat Islam untuk mengikutinya. Kata-kata Nabi sebagaimana yang diungkapkan al Qur’an kepada kita, merupakan wahyu Allah, perbuatan dan ajaran-ajarannya menjadi sumber ketentuan syari’ah merupakan dalil yang mengikat. Sementara menafsirkan ayat al Qur’an yang menegaskan bahwa Nabi tidak berbicara menurut kemauannya sendiri, tidak satu pun selain wahyu diturunkan kepadanya, tetapi al Ghazali mengatakan bahwa beberapa wahyu Allah yang diterima oleh Nabi memang menjadi bagian al Qur’an tetapi sisanya adalah sunnah.


BAB III
PENUTUP


A. KESIMPULAN
Al Qur’an dan Sunnah merupakan sumber-sumber hukum Islam yang berdiri sendiri dan telah disepakati para ulama sebagai hujjah hukum Islam. Kehujjahan kedua sumber hukum Islam ini, baik al Qur’an maupun Sunnah secara jelas dan tegas telah diisyaratkan di dalam al Qur’an itu sendiri dan diterangkan dalam hadis Nabi SAW.
Dengan demikian, ketika ada pemasalahan yang diperselisihkan kaitannya dengan hukum hendaknya merujuk pada al Qur’an dan mengembalikannya kepada Rasul dalam arti menggunakan Sunnah dalam menetapkan hukum permasalahan yang ada.

B. SARAN
Apa yang telah diuraikan penulis dari sumber hukum Islam otentik yang disepakati ulama ini, masih bisa untuk dikembangkan atau dikaji lebih lanjut. Sebagaimana yang telah penulis sampaikan di awal, bahwa dalam karya ilmiah ini, penulis hanya menguraikan pembahasan secara sederhana dan ringkas. Mungkin diperlukan sebuah pembahasan yang lebih luas (kompleks) dan terperinci sehingga dihasilkan karya tulis yang lebih utuh dari segi permasalahan maupun pembahasannya.







DAFTAR PUSTAKA

Chalil, Moenawar. Kembali kepada al Qur’an dan as Sunnah, Jakarta : Bulan Bintang, 1974
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000
Hanafie, A. Usul Fiqh. Jakarta: Penerbit Widjaya, 1988
Kamali, Moh.Hashim. Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul al Fiqh). Terj. Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1991
Umam, Chaerul. Ushul Fiqh I, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000